Senin, 13 Juli 2015

Cerita malam: Sarjana atau tidak

Malam itu begitu dingin dan sunyi bagai lagu rock tanpa petikan nada gitar yang melengking. Mungkin terasa seperti Slash yang mengiringi Iwan Fals dengan ‘Sarjana muda’nya. Tiada raungan knalpot racing motor atau lampu panjang dengan kelajuan mobil plat hitam menata situasi perjalananku dari rumah menuju kampus. Tepatnya sekretariat Himpunan Mahasiswa Jurusan(HMJ) Seni Rupa FBS UNIMA, tempat kami singgah, berkumpul, berkarya, buat tugas dan menginap selepas jam perkuliahan dan menghabiskan malam. Hanya motor knalpot standard dan lampu remang bawaanku milik Ewin, ketua HMJ kami yang menguasai jalan Tanggari yang gelap dan sempit sekitar setengah tiga, lepas tengah malam itu. Aku harus kembali ke sekretariat jam empat subuh karena telah berjanji untuk membangunkan Billy yang akan mempersiapkan diri mengikuti upacara wisuda kelulusannya sebagai Sarjana Pendidikan di hari itu. Kesunyian dan kesenyapan malam di jalan tadi seolah sirnah. Bahkan dingin subuh di kawasan kampus seperti sembunyi dibawah kedalaman danau Tondano ketika menyaksikan padatan kendaraan, kesibukkan security dan mahasiswa KKN mengatur lalu lintas dan parkiran di sekitaran gedung Auditorium dan Kantor Pusat UNIMA, kedap kedip lampu kamera, serta riuhan suara-suara panik bahagia dari ribuan orang yang akan mengikuti upacara wisuda pada Kamis, 9 juli 2015 itu. Aura panas orang tua dan sarjanawan/sarjanawati itu begitu menggelora mendahului panas matahari pagi. Aku kembali dan keluar dari keramaian itu setelah melepas Billy menuju acaranya. Setelah lelah dan memiliki waktu, aku tidur dipagi hari untuk mengembalikan tenagaku yang habis semalaman. Pagi yang biasa di sekre adalah pagi yang ribut oleh dentuman tak beraturan nan keras tambor ketukkan Ewin yang selalu membangunkan kami dari mimpi dan orgasme pagi, dan sejujurnya, kami bangun karena rasa jengkel . Beberapa kali Gian membalas keisengan Ewin, dan lagi, selalu kami yang jadi korban. Aktivitas yang penuh warna di tempat kediaman kedua itu benar-benar dimanfaatkan dengan baik sebab bulan ini adalah bulan yang nyaris tak ada perkuliahan di kelas. Kami semua adalah mahasiswa yang masuk kategori pecinta kampus, sebab hari libur atau tidak, kami selalu eksis di kampus. Tetapi itu tentu tidak menjamin kami untuk lulus dengan cepat atau sebaliknya kami berlama-lama sebagai mahasiswa karena kecintaan yang terlalu tinggi pada lingkungan kampus. Benar kata senior-senior kami bahwa “lebih mudah untuk masuk dari pada untuk keluar dari kampus – apalagi dengan cara yang ideal”. Ungkapan itu menjadi tantangan bagi kami yang telah mengikrarkan tekad “sekali mahasiswa, sarjana harga mati” dan bagi diriku sendiri pengalaman adalah sesuatu yang harus kurasakan, mahasiswa adalah sepenggal dari pengalaman-pengalaman yang harus aku selesaikan… Menikmati kopi plus rokok bersama serta bersenda gurau di sore hari adalah hal yang biasa kami lakukan. Tentu saja sasaran ejekan dan bahan tertawaan yang tak tergantikan adalah Defris dengan kelucuan dan kepolosannya di tambah rival sekampungnya, Epeng, yang selalu konsisten bertentangan dalam segala topik pembicaraan antara mereka berdua menjadi suatu lelucon yang tak membosankan. Di sore itupun sesekali aku mengikuti perkembangan berita dan masuk ke media sosial melalui telepon seluler. Tak seperti biasanya, status teman-teman facebook, group dan fanpage yang saya ikuti memberikan suasana baru di sore itu. Seluruh yang berkaitan dengan civitas akademika UNIMA dihebohkan dengan postingan salah seorang dosen yang juga guru besar dan anggota senat UNIMA, yaitu Prof. R Pakasi yang menyatakan sikapnya mengenai pelaksanaan ujian Pra Kualifikasi atau Komprehensif beberapa mahasiswa bimbingan akademiknya dan juga mahasiswa yang akan diuji olehnya dalam ujian tersebut yang dinyatakan illegal. Sontak aku kaget, tentu ini hal yang tak biasa dan menarik untuk dikaji. Dengan seksama aku mengikuti rincian postingan sampai komentar-komentarnya dalam grup “FBS UNIMA” di facebook dan postingan pribadi akun Rudi Pakasi. Sekilas aku berpikir ini adalah persoalan yang lumrah. Sebab banyak telah terjadi hal serupa di universitas yang sama dan didiamkan. Seakan itu hanyalah ketukan tambor Ewin yang salah namun dibiarkan terus mengiringi tarian. Namun setelah kurenungi, ternyata Ewin harus ditegur dan diberi ajaran untuk menjadi pengiring yang baik untuk menghasilkan tarian yang indah. Kurasa begitupun motivasi tindakan Prof. Rudi, yaitu untuk mengembalikan martabat UNIMA yang adalah dalam kesehariannya harus menjalankan system yang baik dengan administrasi yang benar tanpa melanggar etika akademik. Memang dalam sebuah lembaga yang masih kental dengan praktek-praktek nepotisme serta orientasi uang, pelanggaran-pelanggaran inprosuderal seperti ini sungguh menjadi seseuatu yang biasa. Tapi sayangnya kasus yang serupa dikembang biakkan dalam lembaga pendidikan tinggi. Ironis. Untuk persoalan ini, pikiranku mencoba memetakan situasi, sebab-akibat, pihak-pihak terkait dan tentu saja berdasarkan analisis terbatas dan subjektif dengan sebuah kesimpulan yang mungkin takkan berpengaruh apapun. Sebelum menguraikannya, aku teringat kemeriahan akan kebanggaan upacara wisuda hari kamis itu. Ya, beruntung Billy berada dalam posisi “mahasiswa yang lain” yang tidak berkaitan dengan persoalan “SK Ujian menyusul” ini. Aku berusaha meminjam rasa pada mahasiswa yang terkait dengan keberatan Prof. Rudi ini dan mencoba merasakan. Tentu saja aku akan berpikir jika pernyataan itu terbukti benar dan harus ditindaki dengan konsekuensi terburuk yaitu keputusan kelulusan itu dibatalkan, maka ini adalah tamparan yang tidak kutanggung sendirian. Setidaknya pimpinan program studi yang melaksanakan, pimpinan fakultas, bahkan biro yang mengurusi persoalan ini pun kena imbasnya. Sebab mereka-mereka itulah yang menggunakan otoritasnya untuk melaksanakan ujian walaupun tidak dihadiri penguji atau pembimbing yang tidak diberitahu ataupun belum ada surat keputusan. Dari sisi penggugat dalam hal ini Prof. Rudi, kuberpikir ini bukan sekadar penyelamatan harga diri seorang dosen pembimbing atau penguji yang telah diakui kredibilitas dan kompetensinya yang telah dilangkahi atau bahkan tidak dihormati, tetapi ini juga berkaitan dengan upaya menegakkan suatu kebenaran atas pelanggaran yang serius dalam tubuh civitas akademika UNIMA. Untuk posisi pimpinan yang berkaitan, mungkin hanya akan terjadi saling lempar bola atau cuci tangan. Kompleks dan dilematis memang, jika persoalan seperti ini diperhadapkan pada mahasiswa yang berkeinginan besar untuk segera menyelesaikan studinya dan cepat-cepat ingin diwisuda. “Semoga saja persoalan ini segera diselesaikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan secepatnya” - Mungkin ini harapan serta kesimpulanku tentang hal yang tengah hangat ini. Akhirnya aku harus berhenti sejenak berpikir, mencari selimut dan bantal tuk meletakkan kepalaku agar tidur nyenyak dalam kehangatan sebelum serangan tambor Ewin besok pagi menyerang kepalaku.